Entah kenapa pagi ini aku berniat membangunkan Kak Mitha. Tidak
biasanya, ku ingin mengajaknya salat subuh. Mungkin aku ingin dia
berubah dan kembali ke jalanNya, atau... apa mungkin karena pertengkaran
kemarin dengan mama?
Entahlah, tapi yang jelas, saat pikiranku masih berkutat, tanganku sudah mengayun untuk mengetuk pintu kamarnya.
" Kak..?"
Kutunggu balasan untuk beberapa saat. Hening.
" Kak?"
Aku memanggilnya untuk kedua kali. Kali ini dengan nada lebih tinggi.
Tetap hening. Tak satupun sahutan keluar dari dalam.
Ah, bodohnya aku. Sejak kapan Kak Mitha bisa bangun sepagi ini? Biasanya toh ia paling cepat bangun jam tujuh. Itupun jika ada kuliah di kampusnya.
Tapi tubuhku tidak mau berkompromi. Tetap saja kuketuk pintu kamarnya untuk ketiga kali.
" Kak, salat yuk...?"
Seperti yang kuduga. Tak ada satupun sahutan dari dalam. Biasanya kalau sudah seperti itu, aku akan membalikkan badan dan membiarkannya bangun sendiri. Aku sudah bertabiat seperti semua yang lain disini. Dingin, tak acuh dan masa bodoh dengan urusan orang. Karena itukah seisi rumah seperti neraka?
Diluar control, tanganku tiba-tiba begitu saja sudah menggamit gagang pintu. Aah, ini benar-benar bukan kebiasaanku. Aku tak terbiasa mencampuri urusan orang lain seperti ini karena itulah yang ditanamkan padaku semenjak bertahun-tahun yang lalu, saat papa memutuskan untuk meninggalkan mama beserta keempat orang anaknya. Sejak papa pergi, kehidupan disini semakin kacau. Kalau sebelumnya aku hanya mendengar pertengkaran orang tua dan membereskan perabotan yang pecah, namun sekarang, aku harus merasa maklum dan lazim melihat mama pulang jam tiga pagi dengan alasan meeting, meeting dan meeting . Ahh.... mungkin itu juga yang membuat Kak Mitha seperti ini? Berapa kali juga kupergoki Kakak membawa teman kencannya menginap di rumah? Aku harus menutup mata melihat itu semua karena.... karena.... apa sih yang bisa kulakukan untuk melarang mereka? Dari pekerjaan itu meereka mendapat uang, dari situ mereka membiayai kami untuk bertahun-tahun. Aku jadi teringat sekarang. Setiap kakak membawa teman-teman kencannya ke rumah, dua hal yang selalu ia pesankan padaku adalah : " jangan masuk kamarku dan jangan beritahu mama" . aku selalu mengiyakan permintaannya. Aku tak pernah sekalipun memberitahu mama ataupun memasuki kamarnya saat ia membawa pria. Bahkan seingatku, aku jarang sekali masuk ke kamarnya. Tak lebih dari lima kali semenjak papa pergi kurasa. Tapi sekarang ini?
Entahlah, mungkin rasa sayangku yang begitu besar padanya membuatku ingin membuka pintu kamar ini.
" Kak? " panggilku lagi sebelum kutarik gagang pintu.
"Hmm.. tidak dikunci...," batinku perlahan.
Dengan mudah kutarik gagang pintu yang nampak sudah semakin aus, sebeluma akhirnya kuulangi ucapanku.
" Kaak..., sa............" panggilanku terhenti disitu.
Aku terperangah.
" Kakak???!!!!"
Memoriku melayang kembali ke pertengkaran kak Mitha dan mama malam tadi.
" Sejak kapan kamu jadi pelacur, hahh??!!!!"
Sentakan mama malam itu membangunkan si kembar yang sedari tadi tertidur pulas. Aku mengintip jam dinding.
" Sudah pukul sebelas malam, " batinku masygul.
Kuputar keras-keras tape recorder di kamar lantas meninabobokan kembali si kembar dengan susah payah.
" mama sudah datang ya Kak?" tanya Nia sembari mengucek-ucek matanya.
"Iya, " aku mengangguk pelan.
" Tapi mama capek, jadi jangan diganggu. Kalian cepat tidur ya, besok kan musti sekolah"
Setelah cukup yakin bahwa mereka sudah terlelap, perlahan-lahan aku beringsut dari kamar, dan bersegera menuju ruang tengah. Aku mengendap-endap di bawah sofa dan mendengarkan apa yang sedang dipertengkarkan mereka berdua, kakakku dan Mama.
" mama denger dari sapa?"
" kamu nggak perlu tahu mama dapat info dari mana. Bener nggak???!!!!!!"
" kalo iya terus kenapa?" ujar kak Mitha menantang.
Plaakkk !!! tamparan keras mendarat di pipi kakak. Aku hanya bisa melihat. Aku tak pernah kuasa berbuat. Mama memang temperamen sekali. Apalagi kalau sedang marah, tak ada satupun di rumah ini yang berani membantahnya.
" mama berani menampar aku? Apa salahku ma? Memang aku pelacur tapi aku bangga bisa membiayai adik-adik dengan profesiku ini..."
" Apa kau bilang haaahhh??? Profesi katamu.... itu pekerjaan hina Tha, hina!!!!"
" Lantas, kenapa mama jadi pelacur juga?"
Bagai hantaman keras di tubuh mama, beliau langsung terdiam begitu saja. Amarahnya seketika luluh, yang tersisa hanyalah gurat ketakutan yang seolah meliputi seluruh jiwanya.
" mama... mama.... ma.. maaa... bukan pelacur..." ujarnya, sejurus kemudian.
" Oya? " sambung kakak, sedikit sinis.
" Lantas kenapa aku bisa jadi seperti ini kalau bukan karena mengikuti jejak mama?"
Plaaakkkk.
" mama bukan pelacur. Kalau mama sering pulang pagi itu karena ada meeting"
itu adalah ucapan mama yang terakhir karena setelah itu mama langsung menyeret tas kerjanya, dan pergi begitu saja.
" jangan pergi ma!!" teriak Kak Mitha.
" ada hal yang ingin kubicarakan, tolong "
Mama hanya menoleh sebentar sebelum melengus kesal.
" Kita tak pernah bisa bicara berdua, "
" Kenapa mama harus selalu menghindar dari masalah?"
" Ma... Maa!!!!!"
Kak Mitha menarik-narik rok mama, namun dengan tangkas mama menangkis tangannya.
" Braakkk!!!!" suara daun pintu dibanting.
Dan mama pun pergi, seperti malam-malam kemarin.
Untuk mama,
Dari anak yang sangat menyayangimu
Mitha
Mama hanya bisa sesenggukan membaca kop surat itu.
Mama, aku tahu ini akan membuat mama sedih tapi aku rasa inilah jalan terbaik yang bisa kulakukan untuk kita sekeluarga.
Aku sudah menjadi pecandu sejak dua bulan yang lalu. Aku tak tahan harus menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk kokain yang telah begitu banyak menyiksaku. Aku memutuskan untuk berhenti Ma, dan kurasa sekali lagi, inilah jalan terbaik untukku.
Aku tahu kebutuhan ekonomi kita makin lama makin tinggi. Tia sebentar lagi kuliah dan si kembar sebentar lagi masuk SD. Sebenarnya aku bisa membantu mama untuk menghidupi mereka. Seperti yang sudah kuceritakan pada mama, pekerjaan sambilanku sebagai hostess bisa dibilang cukup untuk membantu mama menyekolahkan adik-adik. Tapi tidak lagi setelah aku kecanduan Ma! Uangku habis untuk nyabu dengan anak-anak, bahkan sering kurang. Untung aku belum ada keberanian untuk mencuri barang-barang di rumah kita seperti teman-temanku yang lain. Maka kurasa inilah jalan terbaik bagiku sebelum aku menyakiti mama lebih jauh.
Mama histeris setelah membaca baris itu. Surat sepanjang satu setengah halaman itu diremas-remasnya dengan gundah. Aku sendiri sibuk menenangkan si kembar yang sedari tadi bertanya-tanya kenapa mama menangis dan kenapa jasad kak Mitha terbujur kaku di ruang tengah.
Beberapa kali aku memergoki mama check in. Aku tak pernah menuntut mama untuk berkata jujur tapi aku sedih melihat mama bohong dari waktu ke waktu. Kalau memang itu pekerjaan mama, kenapa harus menutupinya dengan berpura-pura ke kantor tiap pagi? Mama tak pernah ke kantor, karena memang mama sudah tak bekerja disitu lagi. Kenapa harus berbohong padaku Ma? Kenapa?
Aku maklum jika mama menyembunyikan fakta itu dari Tia, karena dia terlalu kecil untuk memahami semua ini, tapi ma, kenapa mama harus menyembunyikan hal ini dariku? Aku bangga punya mama, apapun pekerjaan mama bagiku tak masalah. Karena berkat mama lah aku bisa mengenyam pendidikan. Aku tahu, banyak sudah yang mama korbankan untuk membuatku kuliah.
Mungkin terdengar konyol Ma, tapi sesungguhnya, Mamalah yang menginspirasiku untuk menjadi seorang hostess. Aku tahu mama kecewa sekali saat tadi aku mengatakan hal ini. Mama ingin aku menjadi gadis baik-baik, meneruskan kuliah dan mungkin membina rumah tangga, tapi aku tak bisa membiarkan adik-adik setiap saat mengeluh padaku tentang SPP nya yang menunggak, atau ngiri melihat teman-temannya jajan. Sungguh Ma, aku tak tega melihat mereka harus ikut menderita. Mereka masih kecil untuk ikut merasakan penderitaan keluarga, Ma!
Sungguh kepuasan tak terkira, saat melihat mereka berbinar-binar menerima uang saku dariku, saat mereka meloncat-loncat kegirangan kuajak ke swalayan, saat ada kado istimewa di hari ulang tahun mereka... ah... sungguh Ma, demi melihat semua itu, aku rela melakukan apapun! Aku tak peduli apa kata orang Ma, aku tak peduli!!
Maafkan aku Ma telah memilih jalan ini. Aku tahu aku salah, tapi aku tak bisa membiarkan mama semakin menderita dengan kehadiranku. Sudah kupilih jalan ini ma, maka ikhlaskan aku, dan kuharap mama bisa berubah. Aku tak ingin adik-adik menjadi seperti kita. Jaga mereka baik-baik.
Maaf,
Mitha
Mama kembali menjerit. Histeris. Aku menyuruh si kembar masuk ke kamarnya sebelum kuhampiri mama.
Kupeluk erat tubuhnya yang kelihatan sudah semakin menua.
" Aku juga sudah tahu apa kerja Mama dari dulu. Istri Om Bayu dulu pernah kesini dan melabrakku serta kakak. Tapi kami tidak tega memberitahu Mama"
Mama tertegun.
Aku menatapnya penuh kasih. Jujur aku merasa beruntung. Di tengah kemelut keluarga yang seakan tanpa ujung, sahabatku mengenalkan aku pada Remaja Mushala. Dari sini aku mulai kembali mengenal ajaran agama. Aku mulai rajin salat, suatu hal yang sudah kulupakan untuk waktu yang sangat lama.mereka memberiku siraman ruhani. Banyak... banyak sekali! Aku bersyukur tidak harus terjerumus dalam lembah yang gelap. Setiap aku merasa kusut, aku selalu melarikan diri pada mereka, menceritakan segala uneg-unegku dan dengan segenap hati mereka menuntunku untuk memasrahkan semuanya pada Allah. Sungguh jalan keluar yang terbaik.
Aku memang belum berjilbab seperti mereka karena aku merasa belum siap, tapi setidaknya, aku bersyukur tidak harus terjerumus ke pergaulan yang salah.
Aku melenguh. Kasihan kak Mitha...
Tanah pusara itu belumlah mengering. Mama hanya bisa mengamatinya dalam hampa. Melepaskan anak sulungnya kembali pada Tuhan bukan pekerjaan mudah. Polisi sebenarnya meminta mama untuk melakukan otopsi agar sebab kematian kakak jelas. Tapi mama menolaknya.
Ya Allah, apa yang bisa kulakukan untuk kakakku? Kenapa hidupnya harus berakhir seperti ini?
Aku jadi teringat salah satu doa yang sering diucapkan dalam salat.
" Bimbinglah kami ke jalan yang lurus. Bukan jalan orang-orang yang engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang engkau sesatkan"
"Ya Allah, bolehkah aku meminta agar Engkau melindungi Kak Mitha?"
Entahlah, tapi yang jelas, saat pikiranku masih berkutat, tanganku sudah mengayun untuk mengetuk pintu kamarnya.
" Kak..?"
Kutunggu balasan untuk beberapa saat. Hening.
" Kak?"
Aku memanggilnya untuk kedua kali. Kali ini dengan nada lebih tinggi.
Tetap hening. Tak satupun sahutan keluar dari dalam.
Ah, bodohnya aku. Sejak kapan Kak Mitha bisa bangun sepagi ini? Biasanya toh ia paling cepat bangun jam tujuh. Itupun jika ada kuliah di kampusnya.
Tapi tubuhku tidak mau berkompromi. Tetap saja kuketuk pintu kamarnya untuk ketiga kali.
" Kak, salat yuk...?"
Seperti yang kuduga. Tak ada satupun sahutan dari dalam. Biasanya kalau sudah seperti itu, aku akan membalikkan badan dan membiarkannya bangun sendiri. Aku sudah bertabiat seperti semua yang lain disini. Dingin, tak acuh dan masa bodoh dengan urusan orang. Karena itukah seisi rumah seperti neraka?
Diluar control, tanganku tiba-tiba begitu saja sudah menggamit gagang pintu. Aah, ini benar-benar bukan kebiasaanku. Aku tak terbiasa mencampuri urusan orang lain seperti ini karena itulah yang ditanamkan padaku semenjak bertahun-tahun yang lalu, saat papa memutuskan untuk meninggalkan mama beserta keempat orang anaknya. Sejak papa pergi, kehidupan disini semakin kacau. Kalau sebelumnya aku hanya mendengar pertengkaran orang tua dan membereskan perabotan yang pecah, namun sekarang, aku harus merasa maklum dan lazim melihat mama pulang jam tiga pagi dengan alasan meeting, meeting dan meeting . Ahh.... mungkin itu juga yang membuat Kak Mitha seperti ini? Berapa kali juga kupergoki Kakak membawa teman kencannya menginap di rumah? Aku harus menutup mata melihat itu semua karena.... karena.... apa sih yang bisa kulakukan untuk melarang mereka? Dari pekerjaan itu meereka mendapat uang, dari situ mereka membiayai kami untuk bertahun-tahun. Aku jadi teringat sekarang. Setiap kakak membawa teman-teman kencannya ke rumah, dua hal yang selalu ia pesankan padaku adalah : " jangan masuk kamarku dan jangan beritahu mama" . aku selalu mengiyakan permintaannya. Aku tak pernah sekalipun memberitahu mama ataupun memasuki kamarnya saat ia membawa pria. Bahkan seingatku, aku jarang sekali masuk ke kamarnya. Tak lebih dari lima kali semenjak papa pergi kurasa. Tapi sekarang ini?
Entahlah, mungkin rasa sayangku yang begitu besar padanya membuatku ingin membuka pintu kamar ini.
" Kak? " panggilku lagi sebelum kutarik gagang pintu.
"Hmm.. tidak dikunci...," batinku perlahan.
Dengan mudah kutarik gagang pintu yang nampak sudah semakin aus, sebeluma akhirnya kuulangi ucapanku.
" Kaak..., sa............" panggilanku terhenti disitu.
Aku terperangah.
" Kakak???!!!!"
Memoriku melayang kembali ke pertengkaran kak Mitha dan mama malam tadi.
" Sejak kapan kamu jadi pelacur, hahh??!!!!"
Sentakan mama malam itu membangunkan si kembar yang sedari tadi tertidur pulas. Aku mengintip jam dinding.
" Sudah pukul sebelas malam, " batinku masygul.
Kuputar keras-keras tape recorder di kamar lantas meninabobokan kembali si kembar dengan susah payah.
" mama sudah datang ya Kak?" tanya Nia sembari mengucek-ucek matanya.
"Iya, " aku mengangguk pelan.
" Tapi mama capek, jadi jangan diganggu. Kalian cepat tidur ya, besok kan musti sekolah"
Setelah cukup yakin bahwa mereka sudah terlelap, perlahan-lahan aku beringsut dari kamar, dan bersegera menuju ruang tengah. Aku mengendap-endap di bawah sofa dan mendengarkan apa yang sedang dipertengkarkan mereka berdua, kakakku dan Mama.
" mama denger dari sapa?"
" kamu nggak perlu tahu mama dapat info dari mana. Bener nggak???!!!!!!"
" kalo iya terus kenapa?" ujar kak Mitha menantang.
Plaakkk !!! tamparan keras mendarat di pipi kakak. Aku hanya bisa melihat. Aku tak pernah kuasa berbuat. Mama memang temperamen sekali. Apalagi kalau sedang marah, tak ada satupun di rumah ini yang berani membantahnya.
" mama berani menampar aku? Apa salahku ma? Memang aku pelacur tapi aku bangga bisa membiayai adik-adik dengan profesiku ini..."
" Apa kau bilang haaahhh??? Profesi katamu.... itu pekerjaan hina Tha, hina!!!!"
" Lantas, kenapa mama jadi pelacur juga?"
Bagai hantaman keras di tubuh mama, beliau langsung terdiam begitu saja. Amarahnya seketika luluh, yang tersisa hanyalah gurat ketakutan yang seolah meliputi seluruh jiwanya.
" mama... mama.... ma.. maaa... bukan pelacur..." ujarnya, sejurus kemudian.
" Oya? " sambung kakak, sedikit sinis.
" Lantas kenapa aku bisa jadi seperti ini kalau bukan karena mengikuti jejak mama?"
Plaaakkkk.
" mama bukan pelacur. Kalau mama sering pulang pagi itu karena ada meeting"
itu adalah ucapan mama yang terakhir karena setelah itu mama langsung menyeret tas kerjanya, dan pergi begitu saja.
" jangan pergi ma!!" teriak Kak Mitha.
" ada hal yang ingin kubicarakan, tolong "
Mama hanya menoleh sebentar sebelum melengus kesal.
" Kita tak pernah bisa bicara berdua, "
" Kenapa mama harus selalu menghindar dari masalah?"
" Ma... Maa!!!!!"
Kak Mitha menarik-narik rok mama, namun dengan tangkas mama menangkis tangannya.
" Braakkk!!!!" suara daun pintu dibanting.
Dan mama pun pergi, seperti malam-malam kemarin.
Untuk mama,
Dari anak yang sangat menyayangimu
Mitha
Mama hanya bisa sesenggukan membaca kop surat itu.
Mama, aku tahu ini akan membuat mama sedih tapi aku rasa inilah jalan terbaik yang bisa kulakukan untuk kita sekeluarga.
Aku sudah menjadi pecandu sejak dua bulan yang lalu. Aku tak tahan harus menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk kokain yang telah begitu banyak menyiksaku. Aku memutuskan untuk berhenti Ma, dan kurasa sekali lagi, inilah jalan terbaik untukku.
Aku tahu kebutuhan ekonomi kita makin lama makin tinggi. Tia sebentar lagi kuliah dan si kembar sebentar lagi masuk SD. Sebenarnya aku bisa membantu mama untuk menghidupi mereka. Seperti yang sudah kuceritakan pada mama, pekerjaan sambilanku sebagai hostess bisa dibilang cukup untuk membantu mama menyekolahkan adik-adik. Tapi tidak lagi setelah aku kecanduan Ma! Uangku habis untuk nyabu dengan anak-anak, bahkan sering kurang. Untung aku belum ada keberanian untuk mencuri barang-barang di rumah kita seperti teman-temanku yang lain. Maka kurasa inilah jalan terbaik bagiku sebelum aku menyakiti mama lebih jauh.
Mama histeris setelah membaca baris itu. Surat sepanjang satu setengah halaman itu diremas-remasnya dengan gundah. Aku sendiri sibuk menenangkan si kembar yang sedari tadi bertanya-tanya kenapa mama menangis dan kenapa jasad kak Mitha terbujur kaku di ruang tengah.
Beberapa kali aku memergoki mama check in. Aku tak pernah menuntut mama untuk berkata jujur tapi aku sedih melihat mama bohong dari waktu ke waktu. Kalau memang itu pekerjaan mama, kenapa harus menutupinya dengan berpura-pura ke kantor tiap pagi? Mama tak pernah ke kantor, karena memang mama sudah tak bekerja disitu lagi. Kenapa harus berbohong padaku Ma? Kenapa?
Aku maklum jika mama menyembunyikan fakta itu dari Tia, karena dia terlalu kecil untuk memahami semua ini, tapi ma, kenapa mama harus menyembunyikan hal ini dariku? Aku bangga punya mama, apapun pekerjaan mama bagiku tak masalah. Karena berkat mama lah aku bisa mengenyam pendidikan. Aku tahu, banyak sudah yang mama korbankan untuk membuatku kuliah.
Mungkin terdengar konyol Ma, tapi sesungguhnya, Mamalah yang menginspirasiku untuk menjadi seorang hostess. Aku tahu mama kecewa sekali saat tadi aku mengatakan hal ini. Mama ingin aku menjadi gadis baik-baik, meneruskan kuliah dan mungkin membina rumah tangga, tapi aku tak bisa membiarkan adik-adik setiap saat mengeluh padaku tentang SPP nya yang menunggak, atau ngiri melihat teman-temannya jajan. Sungguh Ma, aku tak tega melihat mereka harus ikut menderita. Mereka masih kecil untuk ikut merasakan penderitaan keluarga, Ma!
Sungguh kepuasan tak terkira, saat melihat mereka berbinar-binar menerima uang saku dariku, saat mereka meloncat-loncat kegirangan kuajak ke swalayan, saat ada kado istimewa di hari ulang tahun mereka... ah... sungguh Ma, demi melihat semua itu, aku rela melakukan apapun! Aku tak peduli apa kata orang Ma, aku tak peduli!!
Maafkan aku Ma telah memilih jalan ini. Aku tahu aku salah, tapi aku tak bisa membiarkan mama semakin menderita dengan kehadiranku. Sudah kupilih jalan ini ma, maka ikhlaskan aku, dan kuharap mama bisa berubah. Aku tak ingin adik-adik menjadi seperti kita. Jaga mereka baik-baik.
Maaf,
Mitha
Mama kembali menjerit. Histeris. Aku menyuruh si kembar masuk ke kamarnya sebelum kuhampiri mama.
Kupeluk erat tubuhnya yang kelihatan sudah semakin menua.
" Aku juga sudah tahu apa kerja Mama dari dulu. Istri Om Bayu dulu pernah kesini dan melabrakku serta kakak. Tapi kami tidak tega memberitahu Mama"
Mama tertegun.
Aku menatapnya penuh kasih. Jujur aku merasa beruntung. Di tengah kemelut keluarga yang seakan tanpa ujung, sahabatku mengenalkan aku pada Remaja Mushala. Dari sini aku mulai kembali mengenal ajaran agama. Aku mulai rajin salat, suatu hal yang sudah kulupakan untuk waktu yang sangat lama.mereka memberiku siraman ruhani. Banyak... banyak sekali! Aku bersyukur tidak harus terjerumus dalam lembah yang gelap. Setiap aku merasa kusut, aku selalu melarikan diri pada mereka, menceritakan segala uneg-unegku dan dengan segenap hati mereka menuntunku untuk memasrahkan semuanya pada Allah. Sungguh jalan keluar yang terbaik.
Aku memang belum berjilbab seperti mereka karena aku merasa belum siap, tapi setidaknya, aku bersyukur tidak harus terjerumus ke pergaulan yang salah.
Aku melenguh. Kasihan kak Mitha...
Tanah pusara itu belumlah mengering. Mama hanya bisa mengamatinya dalam hampa. Melepaskan anak sulungnya kembali pada Tuhan bukan pekerjaan mudah. Polisi sebenarnya meminta mama untuk melakukan otopsi agar sebab kematian kakak jelas. Tapi mama menolaknya.
Ya Allah, apa yang bisa kulakukan untuk kakakku? Kenapa hidupnya harus berakhir seperti ini?
Aku jadi teringat salah satu doa yang sering diucapkan dalam salat.
" Bimbinglah kami ke jalan yang lurus. Bukan jalan orang-orang yang engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang engkau sesatkan"
"Ya Allah, bolehkah aku meminta agar Engkau melindungi Kak Mitha?"
by : Ginanjar Rahardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar